Rabu, 06 Februari 2008

Pesan dari sebuah pepatah





“Harimau mati meninggalkan belang, gajah Mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan nama”. Ini adalah sebuah pepatah lama, yang mungkin sering kita dengar. Bagi kita semua, pepatah dari rangkaian kalimat ini tidak hanya lebih dari sebuah “pepesan kosong”,(sia-sia), tidak lebih daripada teks tertulis pengisi kalimat dari berbagai bahan tulisan. Tapi bila dicermati lebih dalam, pepatah ini memiliki; arti, makna, serta suatu pesan penting yang patut dijadikan bahan renungan. Minggu-minggu terakhir ini hampir disetiap media cetak maupun elektronik, memberitakan tentang sakitnya seorang mantan Presiden Kedua, Bapak H Moehammad Soeharto. Selama beliau dalam keadaan koma dirumah sakit Pusat Pertamina, tidak ada masyarakat yang tidak menjadikan beliau sebagai bahan cerita.

Pro dan kontra terjadi. Ada yang ingin presiden kedua Republik Indonesia ini harus diadili menurut kesalahan atas perbuatannya, dan ada pula menginginkan beliau di maafkan dikarenakan alasan faktor usia dan kesehatannya. Berbagai mantan politisi, para pejabat orde baru, Wakil Presiden Bapak Yusuf Kalla, Bapak SBY, mantan petinggi dan kepala negara sesama ASEAN datang ke RSPP dengan tujuan, memberi dukungan moral sekaligus membesuk seorang tokoh yang sangat berpengaruh selama 32 tahun di masa kepemimpinannya. Ada sesuatu hal yang luar biasa, bila melihat kedatangan para tokoh-tokoh besar dan penting ke RSPP, sikap hormat dan bentuk kehadiran mereka memperlihatkan, bahwa eksistensi Pak Harto ketika memimpin era orde baru, memiliki pengaruh besar tidak hanya bagi negara ini akan tetapi negara lain.

Hari Minggu (27/01/08) kemarin sebuah kabar datang dari RSPP, bahwa seorang pemimpin yang mendapat julukan “Bapak pembangunan” telah meninggal dunia. Muncul bahan cerita dan pembicaraan baru mengenai pendapat berbeda di antara masyarakat. Banyak orang-orang berbincang di berbagai tempat untuk menunjukan kesedihan dan rasa simpati mendalam, tapi ada pula orang-orang yang mencerca, bahkan menunjukan rasa dendam atas kesalahan-kesalahan selama Almarhum memimpin bangsa ini. Bagi sebagian orang yang menaruh simpati, selama kepemimpinannya, Pak Harto dinilai memberi sumbangsih besar terhadap pembangunan nasional, keamanan masyarakat terjamin dari hal-hal kriminal, serta mampu menciptakan program-program dilingkungan masyarakat dengan hal-hal yang positif.

Akan tetapi bagi sebagian orang menganggap selama kepemimpinannya buruk, dia dikenal sebagai seorang yang diktator, menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM, koruptor besar, dan meninggalkan jaminan hutang besar bagi bangsa ini. Barangkali, makna dari pepatah diatas ada benarnya. Misalnya, ketika meninggalnya Bapak Moehammad Hatta, meninggalkan kesan dan wacana berbeda dibandingkan dengan wafatnya Bapak Soekarno, sampai-sampai jarang ditemui biografi hidup Pak Hatta, ditulis dengan kehidupan dan diperbincangkan dengan hal-hal negatif.

Sekarang ini hampir setiap orang bebas berbicara kenegatifan mengenai Pak Harto, berbeda sebelum dia dilengserkan. Media massa tidak takut lagi untuk dibredel sebab berita miring mengenai profil dirinya sejak Beliau mengundurkan diri. Tapi itulah penilaian masyarakat. Menyimpulkan suatu cerita dan peristiwa tergantung dari persepsinya masing-masing, membahas topik masalah dilihat dari caranya memandang. Hidup itu ibarat kertas tanpa warna, sehingga goresan sketsa berbentuk pola, baik berwarna hitam maupun putih bergantung dari pemegang pena itu sendiri. Akan tetapi indah-jeleknya sketsa itu akan diamati menurut pandangan lain. Nama baik dan buruk seseorang, nama kecil maupun besar seseorang bukanlah dinilai oleh dirinya sendiri akan tetapi akan dinilai oleh orang lain.

Senin, 04 Februari 2008

BERBURU PEKERJAAN DAN MELIRIK PELUANG BISNIS




Setiap hari para lulusan SLTA, berbagai lulusan sarjana, berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan di setiap perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Tapi diterima ataupun tidak, bisa saja, sebab keahlian yang dimiliki, dan mungkin juga, karena faktor nasib. Disamping itu, untuk memuluskan langkah kaki ke dunia pekerjaan, tidak hanya karena dua faktor diatas saja, akan tetapi di perlukan ‘relasi’, atau istilah percakapan orang-orang sekarang, ‘koneksi’. Memang, untuk mencari pekerjaan dengan kondisi ekonomi negara kita saat ini, ibarat mencari kursi penumpang di dalam sebuah gerbong kereta listrik jurusan Jabodetabek. Berjubel, berebut, untuk mendapatkan tempat duduk harus bersaing bersama puluhan, bahkan, ratusan penumpang lain. Apakah setelah melamar, lulus psikotes, wawancara, dan setelah itu diterima, semua telah beres? Sehingga, rasa-rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.


STATUS PEKERJAAN


Hampir rata-rata perusahaan di Indonesia, baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta, pekerja yang berprofesi guru dan karyawan swasta, berstatus sebagai pegawai kontrak dan honorer. Artinya, status kerja, manakala kontrak kerjanya telah selesai, sewaktu-waktu, dapat berakhir sesuai masa kerja orang tersebut. Dan ia akan tetap bekerja, apabila, kontrak kerja di perpanjang, sampai batas waktu yang ditentukan menurut kebijakan perusahaan dimana dia bekerja. Sampai sekarang ini saja, banyak para pekerja honorer maupun kontrak, baik; para guru, karyawan swasta, meminta kejelasan akan status kerjanya. Bahkan, ada pula, yang sudah bekerja selama 10 tahun lebih, tapi, belum diangkat menjadi PNS dan karyawan tetap. Memang, penerimaan pekerja dengan sistem kontrak, adalah satu cara kebijakan institusi serta perusahaan, agar tidak memunculkan masalah dikemudian hari. Seumpamanya, pekerja itu berstatus karyawan tetap, maka akan sulit melakukan PHK, pertama, harus dilakukan berdasarkan aturan UU No 13 tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, kedua, masalah pesangon, diatur pula dalam Undang-Undang ini.


MASALAH GAJI


Seorang calon pekerja, terkadang, berhadapan pada suatu persoalan menyangkut upah/gaji. Apakah sudah sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR), atau malah sebaliknya di bawah UMR. Ini juga merupakan hal yang paling primer untuk diperhitungkan. Kadangkala, dipikiran seorang calon pekerja, memikirkan persoalan gaji ditempatkan pada urutan, yang kedua, dan terpenting, “bekerja-lah dulu!”. Menjadi seorang pekerja, ukuran besar kecilnya ‘gaji’, seharusnya dijadikan prinsip utama. Kita bekerja tujuan utamanya adalah mencari uang. Bila dikaji, umumnya, para pekerja tidak memperhitungkan pendapatan dengan pengeluaran atas biaya hidupnya sehari-hari. Padahal, 40 – 50 % pendapatan gaji dari hasil jerih payahnya itu, dikeluarkan untuk operasional kerjanya. Katakanlah, Biaya transportasi dari rumah menuju ke kantor dan sebaliknya, makan siang di kantin kantor, sumbangan-sumbangan di kantor, dll. Belum lagi, berbagai macam kebutuhan untuk menunjang penampilan dan kerapihan di tempat kerjanya, dengan membeli sepatu, tas, pakaian, dsb. Maka sudah menjadi dasar utama, setiap pekerja untuk memperhitungkan gaji dengan biaya-biaya pengeluaran



JELI, MEMBACA PELUANG!



Seorang sarjana tidak harus selalu mencari pekerjaan, akan tetapi juga harus mampu menciptakan pekerjaan”. Kalimat ini beberapa kali saya dengar, di beberapa tayangan televisi pada saat menyaksikan berita, atau biasanya dalam acara tentang bisnis, ataupun mengenai dunia usaha. Pada suatu waktu, ketika sedang menonton sebuah acara televisi, mengenai, cerminan profil usaha kecil dan menengah, hadir pula salah satu narasumber dalam diskusi tersebut. Salah satu tokohnya, Seorang pengusaha besar, sukses dalam bisnis kontraktor, dan pemilik berbagai perusahaan bonafit di Indonesia, yaitu, Bapak Ciputra. Dalam kesempatan tema diskusi itu, ia mengatakan, “Di Indonesia, jarang, atau sedikit sekali, di temukan orang-orang bermental owner, semuanya bermental pekerja, atau hanya ingin menjadi pekerja”. Mendengar hal ini, timbul gejolak dalam pikiran, serta bermunculan pertanyaan-pertanyaan di dalam hati. ”Apa kurang subur tanah di Indonesia?”. ”Tidak! Negara Indonesia kaya, bahkan sumber daya alam melimpah ruah, dibandingkan, dengan negara Jepang, Korea, dan negara-negara lain”. ”Ataukah orang-orang kita tidak mau memanfaatkan satu anugerah Tuhan ini”. “Dan biarlah dikelola oleh Negara Lain”. “Atau, seolah-olah, negara ini, sudah tidak ada tempat untuk lahan membuka bidang usaha”. Apa yang di sampaikan Bapak Ciputra pada diskusi itu, adalah suatu jawaban sangat tepat dan di analisis, dari seorang praktisi bisnis. Dan tidak hanya sebatas pengamat saja, akan tetapi dia sukses sebagai owner.


Sebenarnya bila kita betul-betul jeli membaca peluang, banyak yang dapat kita jadikan lahan bisnis/usaha, berdagang misalnya! agro bisnis, bisa! atau menjual jasa melalui bakat yang dimiliki. Adakalanya, terlintas dipikiran kita, sampah itu tak ubahnya, barang bekas, bau busuk, kotor, menjijikan. Tapi tidak demikian bagi seorang “pengusaha sampah” yang tinggal di daerah Bandung, dari majalah yang saya baca, dia mengubah sampah organik untuk diproses ulang, setelah itu kemudian dijual ke pabrik. Dengan mempekerjakan 20 orang pemulung, disamping, membuka lapangan kerja, melestarikan lingkungan, dia meraih omset sebesar milyaran rupiah dalam waktu sebulan. Peristiwa lainnya, Ibu dewi, seorang karyawati sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Dia, memanfaatkan pekarangan rumahnya di Bogor untuk menyalurkan hobi, sekaligus berbisnis. Halaman rumahnya tidak terlalu luas, ukuran 15 meter persegi. Tapi, disana tumbuh berbagai jenis tanaman hias, buah-buahan, ‘apotek hidup’ dan ‘bumbu dapur’. Apalagi, dia seorang pekerja, tapi dapat membagi waktu. Setiap hari sabtu-minggu, selain digunakan untuk istirahat, dua hari libur itu dimanfaatkan untuk menyalurkan hobi dan bisnis, di isi dengan, merawat tanaman-tanamannya.


Bekerja di manapun, dikota-kota besar, apalagi Jakarta, harus mampu menyiasati kesempatan melalui cara membuka bisnis dan jasa. Kebutuhan hidup yang serba mahal. Memerlukan pemasukan tambahan keuangan dengan cara lain, double income. Selain bekerja di kantor, harus ada usaha, atau jasa lain untuk menunjang itu, disamping, kita seorang pekerja, tapi ada juga usaha sampingan. Sudah pasti, tidak hanya mendapatkan pekerjaan, akan tetapi menciptakan suatu pekerjaan tambahan untuk diri kita sendiri. Dan sudah barang tentu secara otomatis, kebutuhan pribadi serta keluarga akan dapat lebih tercukupi*.