Senin, 04 Februari 2008

BERBURU PEKERJAAN DAN MELIRIK PELUANG BISNIS




Setiap hari para lulusan SLTA, berbagai lulusan sarjana, berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan di setiap perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Tapi diterima ataupun tidak, bisa saja, sebab keahlian yang dimiliki, dan mungkin juga, karena faktor nasib. Disamping itu, untuk memuluskan langkah kaki ke dunia pekerjaan, tidak hanya karena dua faktor diatas saja, akan tetapi di perlukan ‘relasi’, atau istilah percakapan orang-orang sekarang, ‘koneksi’. Memang, untuk mencari pekerjaan dengan kondisi ekonomi negara kita saat ini, ibarat mencari kursi penumpang di dalam sebuah gerbong kereta listrik jurusan Jabodetabek. Berjubel, berebut, untuk mendapatkan tempat duduk harus bersaing bersama puluhan, bahkan, ratusan penumpang lain. Apakah setelah melamar, lulus psikotes, wawancara, dan setelah itu diterima, semua telah beres? Sehingga, rasa-rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.


STATUS PEKERJAAN


Hampir rata-rata perusahaan di Indonesia, baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta, pekerja yang berprofesi guru dan karyawan swasta, berstatus sebagai pegawai kontrak dan honorer. Artinya, status kerja, manakala kontrak kerjanya telah selesai, sewaktu-waktu, dapat berakhir sesuai masa kerja orang tersebut. Dan ia akan tetap bekerja, apabila, kontrak kerja di perpanjang, sampai batas waktu yang ditentukan menurut kebijakan perusahaan dimana dia bekerja. Sampai sekarang ini saja, banyak para pekerja honorer maupun kontrak, baik; para guru, karyawan swasta, meminta kejelasan akan status kerjanya. Bahkan, ada pula, yang sudah bekerja selama 10 tahun lebih, tapi, belum diangkat menjadi PNS dan karyawan tetap. Memang, penerimaan pekerja dengan sistem kontrak, adalah satu cara kebijakan institusi serta perusahaan, agar tidak memunculkan masalah dikemudian hari. Seumpamanya, pekerja itu berstatus karyawan tetap, maka akan sulit melakukan PHK, pertama, harus dilakukan berdasarkan aturan UU No 13 tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, kedua, masalah pesangon, diatur pula dalam Undang-Undang ini.


MASALAH GAJI


Seorang calon pekerja, terkadang, berhadapan pada suatu persoalan menyangkut upah/gaji. Apakah sudah sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR), atau malah sebaliknya di bawah UMR. Ini juga merupakan hal yang paling primer untuk diperhitungkan. Kadangkala, dipikiran seorang calon pekerja, memikirkan persoalan gaji ditempatkan pada urutan, yang kedua, dan terpenting, “bekerja-lah dulu!”. Menjadi seorang pekerja, ukuran besar kecilnya ‘gaji’, seharusnya dijadikan prinsip utama. Kita bekerja tujuan utamanya adalah mencari uang. Bila dikaji, umumnya, para pekerja tidak memperhitungkan pendapatan dengan pengeluaran atas biaya hidupnya sehari-hari. Padahal, 40 – 50 % pendapatan gaji dari hasil jerih payahnya itu, dikeluarkan untuk operasional kerjanya. Katakanlah, Biaya transportasi dari rumah menuju ke kantor dan sebaliknya, makan siang di kantin kantor, sumbangan-sumbangan di kantor, dll. Belum lagi, berbagai macam kebutuhan untuk menunjang penampilan dan kerapihan di tempat kerjanya, dengan membeli sepatu, tas, pakaian, dsb. Maka sudah menjadi dasar utama, setiap pekerja untuk memperhitungkan gaji dengan biaya-biaya pengeluaran



JELI, MEMBACA PELUANG!



Seorang sarjana tidak harus selalu mencari pekerjaan, akan tetapi juga harus mampu menciptakan pekerjaan”. Kalimat ini beberapa kali saya dengar, di beberapa tayangan televisi pada saat menyaksikan berita, atau biasanya dalam acara tentang bisnis, ataupun mengenai dunia usaha. Pada suatu waktu, ketika sedang menonton sebuah acara televisi, mengenai, cerminan profil usaha kecil dan menengah, hadir pula salah satu narasumber dalam diskusi tersebut. Salah satu tokohnya, Seorang pengusaha besar, sukses dalam bisnis kontraktor, dan pemilik berbagai perusahaan bonafit di Indonesia, yaitu, Bapak Ciputra. Dalam kesempatan tema diskusi itu, ia mengatakan, “Di Indonesia, jarang, atau sedikit sekali, di temukan orang-orang bermental owner, semuanya bermental pekerja, atau hanya ingin menjadi pekerja”. Mendengar hal ini, timbul gejolak dalam pikiran, serta bermunculan pertanyaan-pertanyaan di dalam hati. ”Apa kurang subur tanah di Indonesia?”. ”Tidak! Negara Indonesia kaya, bahkan sumber daya alam melimpah ruah, dibandingkan, dengan negara Jepang, Korea, dan negara-negara lain”. ”Ataukah orang-orang kita tidak mau memanfaatkan satu anugerah Tuhan ini”. “Dan biarlah dikelola oleh Negara Lain”. “Atau, seolah-olah, negara ini, sudah tidak ada tempat untuk lahan membuka bidang usaha”. Apa yang di sampaikan Bapak Ciputra pada diskusi itu, adalah suatu jawaban sangat tepat dan di analisis, dari seorang praktisi bisnis. Dan tidak hanya sebatas pengamat saja, akan tetapi dia sukses sebagai owner.


Sebenarnya bila kita betul-betul jeli membaca peluang, banyak yang dapat kita jadikan lahan bisnis/usaha, berdagang misalnya! agro bisnis, bisa! atau menjual jasa melalui bakat yang dimiliki. Adakalanya, terlintas dipikiran kita, sampah itu tak ubahnya, barang bekas, bau busuk, kotor, menjijikan. Tapi tidak demikian bagi seorang “pengusaha sampah” yang tinggal di daerah Bandung, dari majalah yang saya baca, dia mengubah sampah organik untuk diproses ulang, setelah itu kemudian dijual ke pabrik. Dengan mempekerjakan 20 orang pemulung, disamping, membuka lapangan kerja, melestarikan lingkungan, dia meraih omset sebesar milyaran rupiah dalam waktu sebulan. Peristiwa lainnya, Ibu dewi, seorang karyawati sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Dia, memanfaatkan pekarangan rumahnya di Bogor untuk menyalurkan hobi, sekaligus berbisnis. Halaman rumahnya tidak terlalu luas, ukuran 15 meter persegi. Tapi, disana tumbuh berbagai jenis tanaman hias, buah-buahan, ‘apotek hidup’ dan ‘bumbu dapur’. Apalagi, dia seorang pekerja, tapi dapat membagi waktu. Setiap hari sabtu-minggu, selain digunakan untuk istirahat, dua hari libur itu dimanfaatkan untuk menyalurkan hobi dan bisnis, di isi dengan, merawat tanaman-tanamannya.


Bekerja di manapun, dikota-kota besar, apalagi Jakarta, harus mampu menyiasati kesempatan melalui cara membuka bisnis dan jasa. Kebutuhan hidup yang serba mahal. Memerlukan pemasukan tambahan keuangan dengan cara lain, double income. Selain bekerja di kantor, harus ada usaha, atau jasa lain untuk menunjang itu, disamping, kita seorang pekerja, tapi ada juga usaha sampingan. Sudah pasti, tidak hanya mendapatkan pekerjaan, akan tetapi menciptakan suatu pekerjaan tambahan untuk diri kita sendiri. Dan sudah barang tentu secara otomatis, kebutuhan pribadi serta keluarga akan dapat lebih tercukupi*.



2 komentar:

saida mengatakan...

bagus deh...
btw, add ak di Fs ya..
makasih..

Faogomano Lase mengatakan...

GITU DONG ITU BARU NAMANYA ANAK UKI FAKULTAS HUKUM!..GO BAIM..GO UKI!!